denyut blog

Rabu, 30 November 2011

Asal usul Graffiti dan Mural

Anda sering melihat graffiti atau mural yang ada di dinding bawah fly over perempatan Kuningan Jakarta Selatan? Mungkin hanya
sedikit orang yang tahu bahwa pembuatan graffiti dan mural di perempatan Kuningan itu difasilitasi oleh Dinas Pertamanan setempat.
Street art yang dibuat oleh belasan bomber---sebutan bagi pembuat graffiti-itu dibuat pada 20-23 Desember 2006 dengan
mengusung tema Re-Solusi Jakarta 300 cc. Tema tersebut diangkat sebagai respons sekelompok seniman jalanan terhadap
buruknya kondisi sosial dan lingkungan di Jakarta. Kesempatan itu juga dijadikan sebagai kado akhir tahun dari para street artist
kepada Kota Jakarta.

Tulisan dan gambar pada pilar-pilar di perempatan Kuningan ini bukanlah asal bikin. Sebab, sebelum "beraksi", para bomber terlebih
dahulu menjalani diskusi serta brainstorming yang cukup panjang. Lihat saja mural berjudul "Taman Kota" yang menampilkan dua
anak kecil yang saling berangkulan di antara gedung-gedung, seakan-akan mereka tengah kebingungan ke mana mencari taman
untuk sekadar bermain. Atau graffiti bertuliskan "Boneka! Metropolis" yang mudah diinterprestasikan sebagai bentuk kritik terhadap
para penguasa yang gemar mempermainkan orang. Sebab, di atas tulisan yang dibuat dengan cat semprot tadi ada citraan beberapa
sosok orang yang dikondisikan seperti boneka lengkap dengan tali penariknya.

Istilah graffiti sendiri diambil dari bahasa latin "graphium" yang artinya "menulis". Awalnya, istilah ini dipakai oleh para arkeolog untuk
mendefinisikan tulisan-tulisan pada bangunan kuno bangsa Mesir dan Romawi kuno. Kegiatan graffiti sebagai sarana menunjukkan
ketidakpuasan baru dimulai pada zaman Romawi dengan bukti adanya lukisan sindiran terhadap pemerintahan di dinding-dinding
bangunan. Lukisan ini ditemukan di reruntuhan Kota Pompeii. Sementara di Roma sendiri graffiti dipakai sebagai alat propaganda
untuk mendiskreditkan pemeluk agama Kristen yang pada zaman itu dilarang kaisar.

Pemakaian cat semprot atau spray paint untuk graffiti mulai dikenal di New York pada akhir tahun 60-an. Coretan pertama dengan
cat semprot dilakukan pada sebuah kereta subway. Seorang laki-laki bernama Taki yang menetap di 183rd Street Washington
Heights selalu menuliskan namanya-tagging--di setiap tempat yang ia anggap bakal dilihat banyak orang, misalnya di dalam kereta
subway atau di bagian luar dan dalam bis. "Taki183", begitulah tulisan yang ia buat.

Lewat coretan anehnya itu, orang-orang di seluruh kota mengenal Taki. Di tahun 1971, Taki diinterviu oleh sebuah majalah terbitan
New York. Dari situlah nama Taki populer di seluruh New York. Fenomena Taki ini akhirnya mempengaruhi mental anak-anak di New
York. Mereka menganggap kepopuleran bisa diperoleh dengan hanya menuliskan identitas diri pada bus atau kereta yang melewati
seluruh kota. Semakin banyak namanya tercantum, sudah pasti dianggap semakin populer.

Sedangkan kata "mural" berasal dari bahasa Latin "murus" yang berarti dinding. Mural sebenarnya ada sejak ratusan ribu tahun
silam. Orang primitif membuatnya di dinding-dinding gua sebagai sarana mistisme dan spiritual untuk membangkitkan semangat
berburu.

Kegiatan membuat mural kemudian berlanjut ke masyarakat Mesir Kuno. Kala itu, mural menjadi sarana komunikasi. Hingga akhirnya
masyarakat modern membuat mural pada dinding rumah, gedung, gereja, serta tanah beraspal atau berbatu bata, bahkan pada
makam bawah tanah (katakomba).

Sementara di Indonesia baru beberapa tahun belakangan ini graffiti mulai mendapat apresiasi sebagai karya seni. Tercatat, telah
banyak festival bertema "urban art" digelar dengan tujuan mewadahi seniman graffiti agar dapat lebih bebas berapresiasi dan
dihargai. Mereka yang menyukai seni menggambar jalanan ini biasanya berkumpul dalam sebuah wadah atau komunitas tertentu.
Tiga komunitas besar yang cukup terkenal di Indonesia antara lain Tembok Bomber, Royal Consortium, dan Vektorjunkie.

Suasana dan situasi yang dirasakan para bomber di Yogyakarta mungkin bisa dibilang lebih nyaman. Sebab, di sana mural tidak lagi
dianggap sebagai hasil karya yang jelek. Bahkan mural di Yogyakarta tidak lagi dimonopoli para seniman, tapi juga masyarakat
biasa. Mereka membuat mural di pinggir-pinggir jalan lingkup RT maupun jalan masuk gang. Bahkan mural di Yogyakarta hampir
mirip gerakan massal.

Bagaimana dengan Jakarta? Hmm, street art di perempatan perempatan Kuningan--dan mungkin tempat lainnya--bisa dijadikan
sebagai bahan renungan. Sebenarnya lebih enak melihat iklan yang mulai membosankan di kanan kiri jalan atau melihat graffiti/mural
yang sering membuat dahi kita berkernyit saat mencoba menebak pesan yang ingin disampaikan? Terserah Anda....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar